Perspektif Analisis Keruangan Ritel Tradisional dan Modern di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
by Datains Team
Perebutan “kekuasaan ruang” antara retail tradisional dan retail modern semakin masif terjadi. Selama beberapa dekade terakhir, pembangunan retail modern terus mengalami kenaikan yang signifikan di berbagai daerah di Indonesia. Secara keseluruhan, pertumbuhan ritel modern meningkat 31,4 persen, sedangkan ritel tradisional mengalami minus 8,1 persen (Januardi, 2016). Salah satu daerah di Indonesia dengan retail modern yang semakin menjamur ialah Yogyakarta. Tumbuhnya retail modern di daerah ini sangat terkait dengan pertumbuhan kepadatan penduduk yang semakin tinggi. Hal ini dapat dipahami karena Yogyakarta merupakan wilayah dengan predikat “Kota Pendidikan dan Pariwisata” sehingga mendorong arus urbanisasi dan pertumbuhan penduduk yang besar.
Tingginya kepadatan penduduk di wilayah Yogyakarta menjadi pemicu tumbuhnya ekspansi ritel modern di wilayah ini. Bahkan hasil penelitian Wahyuningsih & Harmadi (2015) membuktikan bahwa ritel modern di Yogyakarta berlokasi di lokasi yang padat penduduk. Ekspansi retail yang agresif sebagai salah satu dampak dari kepadatan penduduk yang tinggi telah memicu fenomena “retailisasi” di Yogyakarta. Gejala ini relatif sulit dikendalikan karena berlaku sistem pasar, yang digerakkan oleh supply and demand, dimana hadirnya ritel modern sebagai supply didorong oleh kepadatan penduduk yang tinggi sebagai demand.
Aspek lokasi merupakan salah satu titik lemah retail tradisional. Banyak ritel modern mengambil lokasi-lokasi strategis, seperti di pusat kota dengan jumlah penduduk yang tinggi. Bahkan, lokasi dari beberapa ritel modern juga kadang menyalahi aturan yang sudah ditetapkan. Aspek dominasi lokasi ritel modern terhadap ritel tradisional telah membunuh secara perlahan eksistensi ritel tradisional, khususnya di Yogyakarta. Hal ini karena retail tradisional kalah bersaing dengan retail modern pada lokasi yang sama.
Gambaran kusut persaingan dominasi antara ritel tradisional dengan ritel modern, khususnya pada aspek lokasi dari keduanya, menjadi hal yang menarik untuk ditelaah lebih dalam terkait anatomi lokasi ruang persaingan tersebut. Tulisan ini mencoba untuk mengulas pola persaingan dominasi antara keduanya melalui kacamata keruangan.
Analisis yang digunakan untuk mengulas hal tersebut ialah dominance location index melalui pendekatan hex grid. Hex grid memiliki kelebihan berupa jarak antara setiap titik tengah grid yang bersebelahan selalu sama dan tidak memiliki celah (Kontur, 2020). Salah satu tools grid tersebut adalah H3 Grid yang terintegrasi dengan kelengkungan bumi dengan sistem gridnya yang disebut geodesic discrete global grid system (GDGGS). Grid tersebut dibuat dari sistem proyeksi gnomonic yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat meminimalisir distorsi yang ada (Uber, 2018). Dominance Location Index digunakan untuk melihat kecenderungan dominasi satu objek terhadap seluruh objek di satu lokasi yang sama. Formula yang digunakan ialah sebagai berikut:
Keterangan dari rumus di atas adalah subjek A yang menjadi objek pertama dibagi dengan hasil penjumlahan dari subjek A dan subjek B. Luaran hasil perhitungan tersebut berada pada interval 0–1. Skor tersebut mengacu kepada dominasi subjek A terhadap suatu grid. Sebagai contoh, jika nilai rasio Alfamart (Subjek A) — Indomaret (Subjek B) bernilai 0.33, maka skor tersebut condong ke arah Indomaret sebagai subjek B yang menguasai grid tersebut.
Terdapat beberapa rasio yang digunakan dalam menghitung analisis lokasi tempat perbelanjaan di kawasan Yogyakarta. Daftar rasio tersebut adalah:
- r_af_id: perbandingan antara dominasi Alfamart Group (alfamart dan alfamidi) di suatu grid hex terhadap Indomaret
- r_af_amd: perbandingan antara dominasi Alfamart di suatu grid hex terhadap Alfamidi
- r_circlek: tingkat dominasi Circle-K di wilayah tersebut terhadap retail modern lain
- r_mini: tingkat dominasi minimarket lokal terhadap retail modern (Alfamart Group, Indomaret, Circle-K)
- r_pasar: tingkat dominasi pasar terhadap retail modern (Alfamart Group, Indomaret, Circle-K)
- r_m_t: perbandingan antara dominasi pusat perbelanjaan modern (indomaret, alfamart group, supermarket, circle-k) dengan tempat perbelanjaan tradisional (pasar, minimarket, warung, toko, toko SRC)
Distribusi Ritel secara Umum di Yogyakarta
Peta di atas menggambarkan distribusi ritel di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan hasil scraping melalui overpass-turbo.eu pada open street map dan Google My Maps, terdapat 598 jumlah ritel di DIY yang berhasil dikumpulkan, di antaranya alfa group (alfamart dan alfamidi), circle k, wholesale (Indogrosir), indomaret, mal, minimarket milik warga, pasar tradisional, supermarket, dan swalayan. Deskripsi jumlah masing-masing jenis ritel adalah sebagai berikut.
Secara umum, berdasarkan analisis rerata tetangga terdekat atau average nearest neighbor (ANN) distribusi ritel di DIY memiliki pola persebaran mengelompok. Berdasarkan peta pada gambar di bawah, dapat terlihat bahwa distribusi ritel di DIY sangat padat di pusat kota yaitu Kota Yogyakarta dan wilayah sekitarnya yang masih berdekatan. Kepadatan ritel yang tinggi di pusat kota, secara umum disebabkan oleh kepadatan penduduk yang tinggi. Hubungan kepadatan ritel dan kepadatan penduduk digambarkan pada peta di bawah ini.
Peta di sebelah kiri pada gambar di atas menggambarkan kepadatan ritel yang divisualisasikan pada heatmap. Warna merah pekat menunjukkan kepadatan ritel yang semakin tinggi. Peta sebelah kanan merupakan overlay antara peta kepadatan ritel dan kepadatan penduduk sebagai visualisasi yang menggambarkan hubungan keduanya. Data kepadatan penduduk yang digunakan dalam analisis ini merupakan data kepadatan penduduk per kecamatan. Kepadatan penduduk divisualisasikan dengan gradasi warna hijau, semakin pekat menunjukkan kepadatan penduduk yang semakin tinggi. Dari kedua peta tersebut, baik kepadatan ritel maupun kepadatan penduduk menunjukkan warna yang lebih pekat di pusat kota yaitu Kota Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan ritel sangat erat kaitannya dengan kepadatan penduduk di suatu lokasi.
Retail Tradisional vs Retail modern
Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa lokasi retail modern cenderung mengelompok di pusat kota, baik itu di kawasan dalam ringroad, Ibukota Kulon Progo (Wates), Ibukota Gunung Kidul (Wonosari), dan jalan raya provinsi. Adapun ritel tradisional (warung dan pasar desa) lebih mengelompok dan merata sampai ke pelosok.
Pasar tradisional sebagai tempat berkumpulnya masyarakat nyatanya tidak dapat mengimbangi menjamurnya retail modern di kawasan kota. Hal ini ditujukan dengan sedikitnya wilayah dalam radius 500 meter yang dikuasai oleh pasar tradisional. Hal ini juga terjadi pada wilayah pusat kota tingkat 2 seperti Wates dan Wonosari yang dikuasai oleh retail modern. Maraknya kemunculan retail modern di kawasan padat penduduk yang diimbangi dengan tingginya jumlah mahasiswa di wilayah tersebut, menandakan bahwa retail modern mampu melayani seluruh kebutuhan konsumen segmen mahasiswa yang berasal dari golongan Millenials dan konsumen muda yang terdiri atas gen-y. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Adji dan Subagio (2013) terhadap mahasiswa yang memilih berbelanja di Circle-K di Surabaya, sebagian besar konsumen memilih retail modern sebagai tempat belanja favorit disebabkan oleh faktor pelayanan (customer service) serta keterjangkauan (location) yang lebih baik dibandingkan dengan tempat belanja tradisional seperti warung dan minimarket lokal. Store display turut memainkan peranan penting dalam menarik minat konsumen yang diperkuat oleh communication mix berupa penyampaian katalog diskon yang menjangkau lebih banyak target pasar anak muda, baik melalui brosur maupun media sosial, ketimbang tempat belanja tradisional.
Adapun untuk kawasan pelosok, peran pasar mampu menghidupkan ekonomi lokal melalui perdagangan antar bahan komoditi. Pasar tidak hanya bertahan di tengah gempuran zaman, tetapi pasar mampu menghidupi rakyat kecil di pelosok daerah disaat retail minimarket lokal hanya bertumpu pada profit yang ditujukan oleh dominasinya di wilayah padat penduduk. Meskipun tidak memiliki segudang fitur yang mampu memikat golongan muda untuk terus berkunjung ke pasar, tempat ini memang sudah memiliki porsinya tersendiri dalam melayani pembeli dan penjual serta sebagai wadah perputaran ekonomi rakyat kecil yang seharusnya dilindungi dari gempuran retail modern.
Persaingan tidak hanya terjadi antara retail modern dan tempat perbelanjaan tradisional saja, sesama retail modern bahkan juga saling bersaing dalam merebut dominasi di masyarakat. Hal ini dapat dijumpai dari maraknya fenomena kedua retail modern yang saling berdekatan, umumnya dalam radius 500 meter.
Berdasarkan hasil analisis spasial, diketahui wilayah yang berada di kawasan kota Yogyakarta dan dekat dengan kawasan perguruan tinggi (Depok, Sleman) menjadi basis pertarungan dominasi antara penguasaan indomaret dan alfamart. Ketatnya persaingan antara kedua ritel modern mendorong strategi bisnis dan inovasi yang mampu menarik minat anak muda untuk bergantung kepada brand retail modern yang dominan. Melalui pembagian jarak sekitar 500 meter, masih dapat ditemui beberapa wilayah yang justru menjadi basis pertarungan antara kedua retail modern. Penerapan strategi bundling dan diskon mampu menjamin kedua retail dalam mempertahankan citra favorit di mata konsumen dengan keterangan khusus berupa penawaran harga lebih terjangkau di Indomaret serta pemberian promo dengan pelayanan yang prima oleh Alfamart (Yosefhine et al., 2022).
Alfamart mampu menjangkau ke daerah pelosok dan umumnya berada di kawasan peralihan antara perkotaan dan pedesaan di saat Indomaret (biru) cenderung mengumpul di pusat kota. Hal ini seperti yang terjadi di Wates dan Wonosari. Hal ini menandakan kedua retail modern tersebut juga berusaha menyebarkan pengaruh hingga kawasan perkotaan tingkat 2 (ibukota kabupaten). Terdapat fenomena unik di kawasan Kulon Progo dimana berkat peraturan daerah yang mengatur izin dan kepemilikan retail modern seperti Alfamart dan Indomaret, terdapat kecenderungan pola heterogen dimana meskipun hanya berada di jalan utama kabupaten, tidak ada daerah yang benar-benar dikuasai oleh satu ritel modern. Hal ini disebabkan usaha pemerintah kabupaten Kulon Progo yang menggalakkan program Toko Milik Rakyat (ToMiRa) melalui Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Kulon Progo untuk menghilangkan kesenjangan antara retail modern dan pelaku usaha tradisional dengan pembatasan jarak 1000 meter retail modern terhadap pasar tradisional. Melalui peta dominasi retail modern dan retail tradisional sebelumnya, dapat dilihat bahwa jarak antara retail tradisional dan retail modern cukup berjauhan, sekitar lebih dari dua hexgrid (1 hexgrid = 500 meter).
Menangkap geliat dominasi ritel modern terhadap ritel tradisional di Yogyakarta, khususnya pada aspek lokasi, maka dibutuhkan energi besar untuk mengurai dan mencarikan solusi permasalahannya. Hal ini agar di satu sisi ritel tradisional dapat terus tumbuh, tetapi di sisi lain ritel modern tidak mati. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menjadi pertimbangan ke depan: 1) pemerintah daerah perlu sebaiknya memperhatikan ritel tradisional, dalam hal lokasi berjualan untuk ritel tradisional dan dalam hal perizinan lokasi untuk ritel modern; 2) perlu adanya penetapan jarak antara ritel tradisional dan ritel modern, serta luas usaha ritel modern; 3) perlu adanya zonasi yaitu pembagian zona/kawasan untuk jenis ritel tertentu sehingga dapat mencegah persaingan yang tidak berimbang; 4) perlu adanya sebuah peraturan sebagai kerangka dan landasan bagi pemerintah daerah dalam mengelola sektor ritel modern agar tidak membunuh ritel tradisional serta pada saat yang bersamaan dapat memaksimalkan kontribusi kedua jenis ritel tersebut pada sektor ekonomi lokal.
Penulis: Hafin (@akmalhzn), Monica (@monicachyntiaa), Adji (@adjisaidd)
Editor: Novan Hartadi & Hasea Alfian
Daftar Pustaka:
Adji, P., Subagio, H. (2013). Pengaruh Retail Mix Terhadap Keputusan Pembelian Mahasiswa Uk Petra Di Circle K Siwalankerto Surabaya. Jurnal Manajemen Pemasaran Petra, 1 (2).
Januardi. 2016. Pasar Tradisional, Hidup Segan Mati Tak Mau. Diakses tanggal 7 November 2022 melalui https://ombudsman.jogjaprov.go.id/pasar-tradisional-hidup-segan-mati-tak-mau/
Kontur. 2022. H3 Hexagonal Grid: Why We Use It for Data Analysis and Visualization. Diakses tanggal 7 November 2022 melalui https://www.kontur.io/blog/why-we-use-h3/
Uber. 2018. H3: Uber’s Hexagonal Hierarchical Spatial Index. Diakses tanggal 7 November 2022 melalui https://www.uber.com/en-ID/blog/h3/
Wahyuningsih, T., & Harmadi, S. H. B. (2015). Analisis Lokasi dan Pola Sebaran Pasar Modern di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Bantul. Jurnal Ekonomi Bisnis Dan Kewirausahaan, 4(2), 157–176.
Yosefhine, G., Melodya, J., Zagita, C., Wicaksono, S. R. (2022). Perbandingan Strategi Competitive Analysis antara Indomaret dan Alfamart Menggunakan Metode Analisis Porter’s Five Forces. Jurnal Ilmiah Manajemen dan Kewirausahaan (JUMANAGE), 1 (2).