Prediksi Simulasi COVID-19 dan Bagaimana Cara Memahaminya

Datains
8 min readJun 4, 2020

Sudah tiga bulan berlalu sejak kasus positif COVID-19 pertama kali diumumkan di Indonesia. Sejak itu, setiap hari jumlah pasien yang terdeteksi positif terus bertambah. Banyak individu dan kelompok yang berlomba-lomba membuat visualisasi maupun prediksi perkembangan kasus COVID-19 baik di Indonesia maupun dunia. Umumnya mereka merujuk ke pertanyaan yang sama; Kapan puncak pandemi ini terjadi? Berapa jumlah pasien positif? Kapan pandemi ini berakhir? Dengan menggunakan pemodelan matematis, pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab. Permasalahannya adalah bagaimana kita dapat memahaminya?

Pada artikel ini, kami mengajak Anda untuk belajar memahami perhitungan dan simulasi yang dilakukan oleh para ahli untuk melakukan prediksi.

Memahami Pemodelan Simulasi COVID-19

Pada grafik di atas kita dapat melihat tren penambahan kasus positif COVID-19 harian di seluruh dunia. Tren yang terlihat menunjukkan bahwa kasus harian COVID-19 masih terus bertambah dan bahkan cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Hingga saat ini belum ada tanda-tanda akan berakhirnya pandemi COVID-19 dari dunia. Bagaimana prediksi persebaran COVID-19 di masa depan?

Beberapa institusi telah mempublikasi hasil pemodelan simulasi COVID-19 dan analisis mengenai penyakit tersebut baik di Indonesia maupun internasional. Prediksi terakhir dari White House memperkirakan akan ada 135.000 kematian akibat COVID-19 hingga Agustus di Amerika Serikat. Ada pula analisis dari The Economist yang memviralkan istilah ‘flatten the curve’ sebagai langkah penanggulangan penyebaran virus Corona.

Di Indonesia sendiri, Ikatan Alumni Matematika Universitas Indonesia (ILUNI Matematika UI) mempublikasikan simulasi mereka di Instagram mengenai kasus COVID-19 di Indonesia menggunakan model SIRU pada akhir Maret 2020. Prediksi ini menggunakan sejumlah skenario yang mungkin terjadi pada wabah. Kemungkinan terbaiknya, pandemi COVID-19 di Indonesia dapat berakhir pada akhir Mei hingga awal Juni. Sedangkan kemungkinan terburuknya, pandemi baru berakhir pada akhir Agustus hingga awal September.

Perlu diperhatikan bahwa setiap prediksi atau pemodelan yang dibuat untuk mengestimasi jumlah pasien dan tingkat kematian COVID-19 selalu diawali dari asumsi-asumsi atas perilaku masyarakat dalam skala besar. Pemberlakuan PSBB, social distancing, atau penerapan new normal misalnya, dapat memberikan hasil prediksi yang berbeda. Begitu pula dengan tingkah laku masyarakat yang dapat berubah setiap harinya akan terus mempengaruhi persebaran virus Corona di masa depan.

Meskipun pemodelan atau prediksi mengenai COVID-19 pada akhirnya tidak selalu memberikan hasil yang tepat, prediksi ini tetap memiliki makna dalam membantu menentukan acuan arah dan membuat keputusan. Suatu hasil prediksi dalam kasus pandemi tidak sebaiknya dilihat sebagai sesuatu hal yang eksak, namun sebagai sesuatu yang dinamis dan selalu dievaluasi.

Basic Reproduction Number (R0)

Salah satu istilah yang sering disebut dalam pemodelan pandemi adalah R0 (dibaca R-naught atau R-zero) yaitu angka yang digunakan untuk menggambarkan persebaran suatu penyakit menular dari seseorang ke orang lain dalam populasi. Semakin besar nilai R0 ini berarti semakin mudah penyakit tersebut menular dari satu orang ke orang lain.

Agar lebih jelas, kita coba ilustrasikan dengan kasus penyakit Campak. Penyakit campak (measles) misalnya memiliki R0 dalam kisaran 12–18, yang berarti seorang penderita campak memiliki kemungkinan untuk menularkan penyakitnya ke 12 hingga 18 orang lain secara rata-rata. Sedangkan flu musiman diperkirakan memiliki R0 sebesar 1.3. Lalu, berapa R0 yang dimiliki oleh virus Corona ini? Penelitian terakhir dari CDC Amerika Serikat menunjukkan bahwa awal persebaran COVID-19 di Tiongkok diketahui memiliki R0 sebesar 5.7, kenaikan dari penelitian sebelumnya yang menempatkan COVID-19 pada kisaran R0 sebesar 2.2–2.7. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa COVID-19 memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi dari flu biasa, namun tidak lebih parah daripada penyakit lain seperti measles.

Perlu diingat bahwa peneliti tidak menganggap R0 sebagai angka yang tetap dan statis. Nilai R0 dapat berubah dari waktu ke waktu bergantung pada banyak faktor, seperti penerapan social distancing dan lockdown pada kasus COVID-19 ini, atau langkah-langkah preventif lainnya. Dengan mengetahui nilai R0 dari COVID-19, kita dapat memprediksi persebaran penyakit ini menggunakan pemodelan.

SEIR Model

Salah satu pemodelan epidemi yang paling populer digunakan adalah model SEIR yang terdiri dari Susceptible, Exposed, Infected, dan Recovered. Dalam pemodelan ini diasumsikan bahwa dalam populasi yang terjangkit pandemi terdapat empat kondisi yang dapat dialami oleh masing-masing individu, yaitu susceptible atau rentan, exposed atau terpapar (memiliki kontak dengan orang yang sakit), infected atau terinfeksi (orang yang sakit), dan recovered (orang yang sakit kemudian sembuh atau meninggal). Kita dapat mengasumsikan bahwa orang yang terinfeksi dapat menginfeksi orang lain, dan orang yang sembuh dapat diasumsikan kebal terhadap penyakit sehingga tidak akan tertular kembali, sedangkan orang yang meninggal tidak dapat menyebarkan penyakit itu lagi.

Seseorang yang awalnya sehat namun kemudian terpapar oleh virus Corona tidak langsung terinfeksi. Ada jangka waktu yang berlalu dari waktu orang tersebut terpapar virus hingga akhirnya terjangkit. Saat ini disepakati bahwa jangka waktu yang paling umum untuk inkubasi virus Corona pada manusia adalah antara 2 hingga 14 hari, sehingga 14 hari adalah waktu yang umum digunakan dalam anjuran isolasi diri bagi masyarakat untuk menghambat penyebaran virus.

Dengan mempertimbangkan R0 saat itu dan menggunakan asumsi jumlah orang yang rentan, orang yang terpapar, orang yang terinfeksi, dan orang yang sembuh, serta jangka waktu yang dibutuhkan bagi orang-orang untuk memasuki satu fase ke fase selanjutnya, kita dapat membagun pemodelan SEIR yang dapat memprediksi kasus COVID-19 dari waktu ke waktu.

Melihat Perkembangan Kasus COVID-19 dengan Membaca Grafik

Salah satu angka yang paling mendapat sorotan dalam memahami kasus COVID-19 di Indonesia adalah jumlah pasien positif secara akumulatif. Data pertambahan kasus positif virus Corona di banyak daerah masih naik turun dan belum terbentuk pola yang konsisten, sehingga masih sulit dipastikan apakah akan mulai turun atau akan melonjak tajam. Namun secara umum, hampir setiap hari jumlah kasus positif di Indonesia selalu bertambah. Umumnya dalam kasus epidemi, kenaikan jumlah kasus positif cenderung berbentuk eksponensial.

Kenapa menggunakan pertumbuhan eksponensial?

Pertumbuhan eksponensial digunakan dalam kasus epidemi karena jumlah kasus positif yang bertambah seiring waktu sebanding dengan besar kuantitas itu sendiri. Pertumbuhan eksponensial akan terus terjadi selama masih ada orang sehat yang belum terjangkit hingga mencapai populasi tertentu. Kenaikan secara eksponensial ini dapat dilihat dengan mengamati pertambahan jumlah kasus positif dari hari ke hari yang meningkat dan berlipat ganda dalam waktu yang sangat cepat.

Pertumbuhan eksponensial kasus COVID-19 di Dunia

Pada grafik jumlah persebaran di atas, kita dapat melihat bahwa di awal-awal pandemi, kasus COVID-19 masih terbilang sangat sedikit. Bahkan hingga tanggal 24 Januari, kasus positif COVID-19 masih di bawah angka 1.000. Namun seiring waktu, kenaikannya terjadi secara berlipat ganda dalam waktu yang sangat singkat, hingga pada tanggal 2 April saja, kasus COVID-19 di seluruh dunia sudah mencapai lebih dari 1.000.000. Kurang dari sebulan setelahnya, yaitu pada tanggal 27 April, kasusnya sudah mencapai angka lebih dari 3.000.000 di seluruh dunia, atau ribuan kali lipat dari angka pada bulan Januari. Inilah yang disebut pertumbuhan eksponensial.

Laju eksponensial jumlah kumulatif kasus COVID-19 tidak dapat berlangsung selamanya. Pada akhirnya, pertumbuhan jumlah secara eksponensial ini akan terhenti karena batas populasi. Ketika semua populasi sudah terjangkit oleh penyakit, tidak ada lagi orang sehat yang dapat terjangkiti sehingga penyakit tidak dapat tersebar lagi. Kondisi ini disebut herd immunity.

Dalam skenario yang lebih baik, tidak semua populasi harus terjangkit penyakit untuk mengakhiri pandemi, social distancing yang diikuti dengan lockdown dan karantina serta sejumlah langkah preventif lainnya dapat membantu mengurangi laju persebaran penyakit. Pada saat itu terjadi, kurva kumulatif jumlah kasus COVID-19 yang kita lihat akan mulai melandai, hingga pada akhirnya pandemi akan berakhir ketika tidak ada kasus baru lagi yang bertambah.

Kasus COVID-19 di Indonesia

Di Indonesia sendiri kasus COVID-19 pertama kali dideteksi pada 2 Maret 2020. Hingga awal Juni ini atau tiga bulan setelahnya, sudah terdeteksi lebih dari 28.000 kasus di Indonesia.

Di waktu awal-awal setelah kasus pertama terdeteksi di Indonesia, kenaikan kasus positif COVID-19 masih dalam angka puluhan. Hal ini lalu mulai meningkat perlahan hingga menunjukkan pertambahan kasus harian dalam kisaran 200 dan 300. Belakangan ini dengan bertambahnya kapasitas pengetesan, kasus positif yang terdeteksi setiap harinya bisa mencapai kisaran 600 dan 700. Bahkan dalam beberapa hari tertentu, kasus yang terdeteksi dalam satu hari bisa mencapai 900 kasus lebih.

Perlu diingat bahwa penambahan jumlah kasus juga dibatasi oleh kapasitas pengetesan yang ada. Bukan tidak mungkin bahwa kasus positif yang sebenarnya namun belum terdeteksi memiliki angka yang lebih tinggi daripada kasus yang terlaporkan saat ini.

Kapan Pandemi COVID-19 Berakhir?

Pertanyaan paling umum yang sangat dinantikan jawabannya oleh banyak orang saat ini adalah, kapan pandemi COVID-19 berakhir? Tidak ada yang tahu pasti kapan bencana ini akan sepenuhnya berakhir. Namun, kita bisa memanfaatkan data untuk mengetahui bahwa pandemi mulai mendekati akhirnya ketika kasus positif harian mulai menunjukkan penurunan konsisten.

Kita dapat mengambil data dari Korea Selatan dan Selandia Baru sebagai contoh di sini. Di awal persebaran virus Corona terjadi kenaikan yang sangat besar dari hari ke hari, namun persebaran ini berhasil ditekan dengan diadakannya tes massal yang cepat di negara tersebut dan karantina atau isolasi bagi pasien positif. Hasilnya, jumlah kumulatif kasus COVID-19 akan membentuk kurva yang melandai di akhir, yang berarti bahwa persebaran virus Corona di Korea Selatan dan Selandia Baru berhasil diperlambat dan mungkin akan segera berakhir.

Pada grafik kasus harian COVID-19 di Selandia Baru di atas ini kita dapat melihat bahwa puncak persebaran virus yang terjadi pada pertengahan April sudah terlewati. Pada hari-hari setelahnya, jumlah kasus harian di Selandia Baru menjadi semakin sedikit, hingga tidak ada penambahan kasus harian lagi.

Sementara itu di Indonesia, bentuk grafik pertambahan kasus COVID-19 baik harian maupun kumulatif masih mengalami kenaikan. Sejak pertama muncul pada bulan Januari, jumlah kasus belum mengalami pelandaian kurva yang signifikan. Pelaksanaan prosedur social distancing masih terus dilakukan dalam upaya menekan penyebaran virus Corona. Salah satunya adalah dengan tetap #jagajarak dan rajin #cucitangan dengan sabun.

Referensi:

  1. https://edition.cnn.com/2020/05/04/health/us-virus Corona-monday/index.html
  2. https://www.economist.com/briefing/2020/02/29/covid-19-is-now-in-50-countries-and-things-will-get-worse
  3. https://www.instagram.com/p/B-W87aOhjFZ/?igshid=174nvs7a6ypri
  4. https://theconversation.com/opening-up-us-will-trigger-more-covid-19-cases-but-disease-models-suggest-how-to-avoid-a-second-peak-136770
  5. https://www.nytimes.com/2020/04/23/world/europe/virus Corona-R0-explainer.html
  6. https://www.forbes.com/sites/tarahaelle/2020/04/07/the-covid19-virus Corona-disease-may-be-twice-as-contagious-as-we-thought/#2414557a29a6
  7. https://github.com/CSSEGISandData/COVID-19/tree/master/csse_covid_19_data/csse_covid_19_time_series

--

--