Konsumsi Protein di Indonesia: Analisis Data dan Relevansinya dalam Kebijakan Pangan

Datains
7 min readJun 23, 2023

--

Photo by Towfiqu barbhuiya on Unsplash

Konsumsi protein yang seimbang merupakan salah satu aspek penting dalam pola makan yang sehat. Di Indonesia, sebagai negara dengan populasi yang besar dan keanekaragaman budaya, pemahaman mengenai persebaran konsumsi protein menjadi sangat relevan. Analisis data yang teliti tentang pola konsumsi protein di Indonesia tidak hanya memberikan wawasan mendalam tentang kebiasaan makan masyarakat, tetapi juga merupakan langkah penting dalam merancang kebijakan pangan yang berkelanjutan dan memberikan panduan gizi yang tepat.

Protein merupakan bahan utama dalam pembentukan jaringan otot, tulang, dan organ tubuh.

Menurut wikipedia, Protein adalah kelompok biomolekul berukuran besar yang terbentuk dari satu rantai panjang asam amino atau lebih.

Saat kekurangan protein, tubuh manusia akan mengalami kesulitan dalam membangun dan memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak. Salah satu penyakit kekurangan protein saat masa pertumbuhan adalah stunting. Stunting adalah kondisi yang terjadi akibat kekurangan gizi kronis pada masa pertumbuhan anak-anak.

Secara medis, stunting didefinisikan sebagai tinggi badan anak yang lebih pendek dari tinggi badan rata-rata yang seharusnya sesuai dengan usianya. Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan bagi masyarakat Indonesia adalah 2.100 Kkal dan 57 gram protein. Standar ini merupakan rekomendasi dari hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) ke-11 tahun 2008.

Berdasarkan anjuran Angka Kecukupan Gizi tersebut, kita akan melihat sejumlah fakta berdasarkan data terkait konsumsi protein masyarakat di Indonesia.

Persebaran Konsumsi Protein harian Setiap Provinsi

Gambar Persebaran Konsumsi Protein di Indonesia per Provinsi Tahun 2022

Dari persebaran konsumsi protein tersebut kita bisa lihat bahwa Indonesia bagian timur cenderung mengkonsumsi protein lebih rendah dibandingkan Indonesia bagian tengah maupun barat.

Gambar Perbandingan provinsi dengan konsumsi protein tertinggi dengan provinsi dengan konsumsi protein terendah di Indonesia

Berdasarkan persebaran tersebut kita coba breakdown ke dalam 5 provinsi dengan konsumsi protein terendah dan tertinggi. Ternyata 5 provinsi dengan konsumsi protein terendah terdapat di provinsi Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Maluku Utara, Maluku, dan Papua. Kelima provinsi mengonsumsi protein kurang dari angka asupan gizi yang dianjurkan (57 gram).

Meski di awal ditemukan bahwa Indonesia bagian timur konsumsi protein terbilang rendah, namun ternyata provinsi Nusa Tenggara Barat menempati urutan pertama dengan provinsi dengan konsumsi protein terbanyak (74.82 gram).

Gambar grafik batang provinsi yang mengalami penurunan konsumsi protein dari tahun 2007–2022

Jika kita melihat Provinsi yang mengalami penurunan konsumsi, Provinsi Bali menempati urutan pertama dengan persentase penurunan konsumsi protein dari tahun 2007 sampai 2022 terbanyak yaitu sekitar 6.3%, diikuti dengan Provinsi Papua sebesar 5.8%. Penurunan ini juga yang mungkin mengakibatkan konsumsi protein di papua tidak dapat mencukupi kebutuhan protein harian.

Gambar grafik perkembangan konsumsi protein per hari (2007–2022)

Selain itu, pada tahun 2011 sampai 2013 terjadi penurunan signifikan pada konsumsi protein di pulau Papua dan Kepulauan Maluku. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan.

Untungnya ada peningkatan drastis konsumsi protein antara tahun 2016 sampai 2017 di semua pulau di Indonesia. Meskipun hanya sedikit peningkatan tingkat konsumsi protein di kepulauan Maluku jika dibandingkan dengan tahun 2007, bahkan Pulau Papua tidak mengalami kenaikan sama sekali.

Gambar proporsi konsumsi protein berdasarkan sumber-sumbernya

Jika kita pilah-pilah proporsi konsumsi protein berdasarkan sumber-sumbernya, maka kita dapat temukan bahwa mayoritas konsumsi protein orang Indonesia berasal dari tumbuhan-tumbuhan (sekitar 45%). Protein yang berasal dari daging hewan (daging + ikan/udang/cumi/kerang) sendiri dikonsumsi orang Indonesia (sekitar 21%) lebih sedikit dibandingkan protein dari Protein Shake (sekitar 27%). Hal ini tentu saja disayangkan karena Protein Shake cenderung tidak memiliki banyak nutrisi lain yang juga dibutuhkan tubuh.

Gambar grafik perbandingan perkembangan konsumsi protein shake vs protein alami

Protein shake adalah produk yang dirancang khusus untuk menyediakan asupan protein tambahan dalam bentuk yang mudah dikonsumsi. Produk ini biasanya mengandung protein dalam konsentrasi tinggi dan dapat digunakan sebagai suplemen nutrisi atau pengganti makanan dalam program diet atau kebutuhan protein yang lebih tinggi. Protein shake umumnya tersedia dalam bentuk bubuk, siap minum, atau bar protein. Namun, protein shake sebaiknya digunakan sebagai pelengkap atau tambahan, dan bukan pengganti makanan utama.

Berdasarkan perkembangan konsumsi protein shake vs protein alami, kita bisa temukan bahwa terjadi peningkatan signifikan pada konsumsi protein shake antara tahun 2012 sampai 2019. Akan tetapi konsumsi protein alami tidak terjadi peningkatan signifikan, bahkan stagnan antara tahun 2016 ke 2018 dan terjadi penurunan antara tahun 2018 ke 2019 sehingga penyebab utama total kenaikan protein adalah peningkatan konsumsi protein shake. Hal ini juga yang menjadi faktor penyebab konsumsi protein shake pada tahun 2022 lebih besar dibandingkan berdasarkan daging.

Bagaimana dengan data konsumsi daging di Indonesia?

Gambar grafik persebaran konsumsi daging di seluruh dunia tahun 2020

Jika kita beralih ke data persebaran konsumsi daging seluruh dunia tahun 2020, ternyata konsumsi daging di Indonesia (49kg/tahun/kapita) lebih rendah dari mayoritas negara-negara di Asia dan Asia tenggara . Bahkan konsumsi daging tetangga Indonesia yaitu Australia sendiri hampir 7 kali lipat lebih besar dibandingkan konsumsi daging di Indonesia.

Gambar konsumsi Daging Indonesia yang dibandingkan dengan kelompok-kelompok negara berdasarkan wilayah dan kelas pendapatannya tahun 2020.

Jika kita kelompokkan negara-negara berdasarkan wilayahnya dan kelas pendapatannya kemudian dibandingkan dengan Indonesia, ternyata konsumsi daging orang Indonesia (49 kg) jauh di bawah rata-rata Dunia, rata-rata Asia, bahkan di bawah rata-rata Asia Tenggara. Konsumsi daging di Indonesia hanya beda tipis dengan benua Afrika. Jika kita melihat dari kelas pendapatan, konsumsi daging Indonesia bahkan jauh lebih rendah lagi daripada negara-negara dengan kelas penghasilan tinggi dan menengah ke atas, dan beda tipis dengan negara-negara dengan kelas penghasilan menengah ke bawah dan rendah. Hal ini mungkin disebabkan juga oleh supply protein yang sedikit di Indonesia, mendorong harganya melambung naik sehingga orang Indonesia tidak sanggup membelinya.

Meskipun kebutuhan protein terpenuhi, apakah cukup tanpa mengonsumsi daging hewan?

Meskipun kebanyakan provinsi di Indonesia sudah mengonsumsi protein indonesia melampaui minimal konsumsi protein yang dianjurkan, akan tetapi konsumsi daging sendiri masih jauh di bawah rata-rata dunia , kebanyakan konsumsi protein yang dikonsumsi orang Indonesia berasal dari tumbuh-tumbuhan dan makanan (protein alami).

Kualitas protein sendiri ditentukan dengan digestible indispencable amino acid score (DIAAS). Makin tinggi DIAAS pada suatu bahan protein, semakin banyak juga bahan protein tersebut dapat diserap tubuh. Kebanyakan protein hewani (daging) memiliki DIAAS lebih dari 1 sedangkan tumbuhan kebanyakan di bawah 1. Pada bahan protein yang DIAAS-nya di bawah 1, tidak seluruh proteinnya dapat diserap tubuh.

Jadi bisa saja meskipun konsumsi protein orang indonesia sudah melampaui batas minimal konsumsi protein, akan tetapi jika kita memperhitungkan proporsi bahan protein yang dikonsumsi kebanyakan dari protein nabati yang memiliki DIAAS di bawah 1 bahkan beberapa di bawah 0.5, maka bisa saja akhirnya protein yang diserap tubuh berada di bawah batas minimal konsumsi protein.

DIAAS dari beberapa jenis protein hewani dan Nabati

Protein hewani memiliki peran penting dalam penurunan stunting. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Headey et.al (2018), ditemukan bahwa ada bukti kuat hubungan antara stunting dan indikator konsumsi pangan berasal dari hewan, seperti telur, daging/ikan dan susu atau produk olahannya (keju, yogurt, dll). Penelitian tersebut juga menunjukan konsumsi pangan berasal dari protein hewani lebih dari satu jenis lebih menguntungkan daripada konsumsi pangan berasal dari hewani tunggal.

Sementara itu berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2019 menunjukkan konsumsi telur, daging, susu dan produk turunannya di Indonesia termasuk yang rendah di dunia. Oleh karena itu menurut Indonesian Nutrition Status Study (SSGI), tingkat stunting di Indonesia masih tergolong tinggi yaitu sebesar 21.06%, meskipun mengalami penurunan dari 24,4% di tahun 2021.

Strategi Meningkatkan Konsumsi Protein Hewani

Dari sejumlah fakta dan data yang dikemukakan di atas, ditemukan bahwa tingkat konsumsi protein hewani masih terbilang kurang. Tentu hal ini penting diketahui tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga masyarakat secara umum.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan konsumsi protein hewani yaitu:

  1. Kampanye Edukasi: Mengedukasi masyarakat tentang manfaat gizi daging, pentingnya asupan protein hewani, dan pentingnya konsumsi daging yang seimbang dengan pola makan lainnya.
  2. Program Subsidi: Mengajak pemerintah untuk memberikan program subsidi daging tertentu.
  3. Kolaborasi dengan Pusat Penelitian dan Universitas: Bekerja sama dengan lembaga penelitian dan universitas untuk mengembangkan metode baru dalam pemrosesan daging, peningkatan kualitas, atau penemuan makanan yang lebih sehat yang masih menggunakan daging sebagai bahan utama.
Gambar riset peneliti BRIN untuk mendukung peningkatan produksi daging nasional

Kesimpulan

Meskipun telah terlihat bahwa beberapa provinsi telah mencapai atau melampaui batas minimal konsumsi protein yang dianjurkan, masih ada isu yang perlu diperhatikan. Konsumsi daging di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan rata-rata global, dan mayoritas konsumsi protein berasal dari sumber nabati. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kualitas protein yang dikonsumsi dan ketersediaan asam amino yang penting bagi tubuh.

Tingginya tingkat kasus stunting di Indonesia juga menunjukkan perlunya perhatian terhadap konsumsi pangan berasal dari protein hewani. Oleh karena itu, upaya meningkatkan konsumsi protein hewani perlu menjadi perhatian serius, baik melalui kampanye edukasi, program subsidi, maupun kolaborasi dengan lembaga penelitian dan universitas untuk terus mengembangkan solusi inovatif.

Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan konsumsi protein di Indonesia dapat meningkat secara menyeluruh, membawa manfaat bagi kesehatan dan pertumbuhan masyarakat, serta mendorong terwujudnya kebijakan pangan yang berkelanjutan dan panduan gizi yang lebih baik.

SUMBER DATA

  1. Food and Agriculture Organization of the United Nations: http://www.fao.org/faostat/en/#data/FBS
  2. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Triwulan I-2013 dan Triwulan I-2014, BPS
  3. Survei Sosial Ekonomi Nasional , Modul Konsumsi 1999, 2002 dan 2005 (2003, 2004 dan 2006 hanya mencakup panel 10.000 rumahtangga, sedangkan 2007, 2008, 2009, dan 2010 mencakup panel 68.800 rumah tangga), Tahun 2011–2014 merupakan data Susenas Triwulan I dan Triwulan III (Maret dan September ) dengan sampel 75.000 rumah tangga.
  4. https://www.kemkes.go.id/article/view/23012500002/prevalensi-stunting-di-indonesia-turun-ke-21-6-dari-24-4-.html
  5. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/07/14/padi-padian-jadi-sumber-protein-paling-banyak-dikonsumsi-masyarakat
  6. https://en.wikipedia.org/wiki/Digestible_Indispensable_Amino_Acid_Score#cite_note-:4-13

--

--