Keberadaan Pasar Tradisional di Tengah Persaingan Pasar Modern di Solo Raya
Analisis perbandingan dominasi dan eksistensi antara pasar tradisional dan pasar modern di wilayah Solo Raya.
By Datains Team
Latar Belakang
Pesatnya perkembangan pasar modern semakin mengancam keberadaan pasar tradisional. Di era globalisasi ini, pertumbuhan pasar modern mengalami peningkatan hingga 31,4% dibandingkan pasar tradisional yang mengalami penurunan mencapai minus 8,1% (Januardi, 2016). Kawasan Solo Raya yang terdiri dari 6 Kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten serta Kota Surakarta yang menjadi pusat perekonomian di kawasan Solo Raya menjadi salah satu wilayah yang memiliki pertumbuhan pasar modern yang tergolong tinggi. Sekitar satu dekade terakhir, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik telah menunjukkan perbandingan jumlah pasar modern yang jauh lebih banyak dibandingkan pasar tradisional.
Kawasan Solo Raya memiliki potensi perdagangan yang sangat besar. Sektor perdagangan bervariatif mulai dari tradisional hingga modern. Persaingan antara keduanya terlihat, ketika pasar modern yang kini semakin meruak dan mengambil alih lokasi-lokasi strategis, seperti di pusat kota dengan jumlah penduduk yang tinggi. Tingginya pertumbuhan pasar modern akan semakin mengancam keberadaan pasar tradisional di era globalisasi ini, karena sebagian masyarakat akan cenderung beralih ke pasar modern yang terlihat lebih canggih, nyaman, bersih serta menawarkan banyak hiburan.
Persaingan antar kedua jenis pasar menjadi hal yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Tulisan ini akan mengulas dominansi jenis pasar dalam sebuah area tertentu serta melihat eksistensi kedua jenis pasar di kalangan masyarakat kawasan Solo Raya.
Metode
Analisis dominance location index digunakan untuk menganalisis dominansi suatu jenis ritel pada area tertentu yang dikombinasikan dengan pendekatan hex grid. Hex grid memilki kelebihan berupa ketepatan jarak antara setiap titik pusat grid yang bersebelahan selalu sama dan tidak memiliki celah (Kontur, 2020). Grid yang digunakan kali ini merupakan hex grid atau grid yang berbentuk hexagonal yang memiliki radius sebesar 500 meter. Perhitungan dominance location index untuk melihat kecenderungan dominasi satu objek terhadap seluruh objek di satu lokasi yang sama, dapat dilihat pada formula berikut.
Dimana subjek A yang menjadi objek pertama dibagi dengan hasil penjumlahan dari subjek A dan subjek B. Hasil perhitungan tersebut berada pada rentang 0–1. Skor tersebut mengacu kepada dominasi subjek A terhadap suatu grid. Sebagai contoh, jika nilai rasio Alfamart (Subjek A) — Indomaret (Subjek B) bernilai 0.33, maka skor tersebut condong ke arah Indomaret sebagai subjek B yang menguasai grid tersebut.
Terdapat beberapa rasio yang digunakan dalam menghitung analisis lokasi tempat perbelanjaan di kawasan Solo Raya. Daftar rasio tersebut adalah:
- r_af_id: perbandingan antara dominasi Alfamart Group (Alfamart dan Alfamidi) di suatu grid hex terhadap Indomaret
- r_af_amd: perbandingan antara dominasi Alfamart di suatu grid hex terhadap Alfamidi
- r_mini: tingkat dominasi minimarket lokal terhadap retail modern (Alfamart Group, Indomaret, Circle-K)
- r_pasar: tingkat dominasi pasar terhadap retail modern (Alfamart Group, Indomaret, Circle-K)
- r_m_t: perbandingan antara dominasi pusat perbelanjaan modern (Indomaret, Alfamart Group, supermarket, Circle-K, wholesale) dengan tempat perbelanjaan tradisional (pasar, minimarket, warung, toko, toko SRC)
Untuk melihat eksistensi antara pasar modern dan tradisional dilakukan dengan melihat jumlah ulasan pada Google Maps yang diasumsikan sebagai jumlah pengunjung. Pada analisis ini, menggunakan metode sampling yang mewakili seluruh populasi ritel yang ada. Jumlah total sampel mengacu pada Krejcie dan Morgan (1970), dengan jumlah ritel sebanyak 892 maka jumlah sampel sebesar 269 yang kemudian dibagi dua untuk sampel pasar modern sebanyak 134 dan sampel pasar tradisional 135 sampel. Metode penentuan dilakukan secara purposive sampling yaitu dengan mempertimbangkan kemerataan sampel di masing-masing Kabupaten/Kota di Solo Raya dan memiliki rating antara 4–5 bintang. Berikut merupakan sebaran sampel antara pasar modern dan tradisional.
Hasil Analisis
Distribusi Ritel Secara Umum di Solo Raya
Peta di atas menggambarkan sebaran ritel di kawasan Solo Raya. Data tersebut diperoleh dari hasil scraping melalui overpass-turbo.eu pada open street map dan Google My Maps, dengan jumlah ritel yang berhasil diperoleh sebanyak 892 ritel, di antaranya Alfa Group (Alfamart dan Alfamidi), Indomaret, mal, minimarket, pasar tradisional, supermarket, swalayan, toko SRC, dan wholesale (Indogrosir). Berikut merupakan deskripsi jumlah masing-masing jenis ritel.
Secara umum distribusi tempat belanja di Solo Raya memiliki pola distribusi mengelompok. Dari peta distribusi tempat belanja, diketahui bahwa Kota Surakarta memiliki kepadatan tempat belanja paling tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah dan kepadatan penduduk Kota Surakarta yang tinggi dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya, dimana Kota Surakarta menjadi Kota dengan kepadatan tertinggi di Jawa Tengah pada tahun 2021 (Kusnandar, 2022). Kepadatan tersebut jika diperbesar lebih jauh tentunya hanya membentuk aglomerasi di wilayah-wilayah strategis seperti jalan Solo-Yogyakarta yang diiringi dengan jalur KRL Commuter Line Solo-Yogyakarta. Wilayah dengan agregasi jumlah penduduk yang sedikit umumnya dikuasai oleh retail tradisional seperti pasar dan minimarket lokal, sedangkan persebaran retail modern berbanding lurus dengan tingginya jumlah penduduk di kawasan tersebut. Selain itu, kepadatan jumlah tempat belanja di Kota Surakarta berkaitan dengan Kota Surakarta yang menyandang predikat sebagai kota budaya sekaligus daerah tujuan wisata serta keberadaan kampung-kampung dagang yang didukung oleh pasar dengan berbagai komoditi, menempatkan kota Solo sebagai kota pusat bisnis dan perdagangan (Agustina, 2022).
Peta di atas menunjukkan jangkauan suatu ritel yang dipengaruhi oleh jalan sebagai aksesibilitas. Satu ritel dibatasi oleh sebuah poligon yang menunjukkan jangkauan areanya. Semakin kecil ukuran poligon, maka jangkauan areanya semakin kecil juga. Hal ini menunjukkan bahwa pada area tersebut terdapat persaingan yang tinggi antar jenis ritel, seperti yang terjadi di Kota Surakarta. Berbeda dengan Kota Surakarta, Kabupaten Wonogiri memiliki persaingan ritel tidak terlalu tinggi dilihat dari ukuran batas poligon yang lebih besar menunjukkan jangkauan satu ritel dengan ritel lain cukup luas. Dengan demikian, cakupan konsumen pada wilayah tersebut cukup luas meskipun tingkat kepadatan cukup sedikit. Hal ini akan mempengaruhi frekuensi belanja masyarakat untuk belanja ke ritel tersebut.
Pasar Modern vs Pasar Tradisional, siapa yang lebih dominan ?
Berdasarkan ritel yang ada dikelompokan ke dalam pasar modern dan tradisional. Pasar modern terdiri dari Alfamart, Alfamidi, Indomaret, mal, minimarket, supermarket, swalayan, dan wholesale. Sementara pasar tradisional terdiri dari pasar tradisional dan Toko SRC. Kedua pasar tentunya memiliki dominasi di masing-masing ranahnya. Pasar modern lebih unggul dalam jumlah cakupan penduduk yang besar meskipun hanya dominan di kawasan yang terhubung oleh jaringan jalan nasional dan provinsi. Dalam konteks dominasi hingga wilayah pelosok, pasar tradisional tentunya mendominasi wilayah-wilayah tersebut secara merata tanpa memandang kepadatan dan jumlah penduduk di suatu wilayah. Hal ini disebabkan pasar tradisional mampu menjalankan operasionalnya tanpa perlu menutup biaya operasional dari keuntungan yang diperoleh.
Untuk melihat dominansi antara pasar modern dan pasar tradisional, perlu melihat batas-batas administrasi sebagai sebuah parameter suatu fenomena tersebut bisa terjadi. Dalam konteks kepadatan penduduk dan penguasaan antara pasar modern dan pasar tradisional, dapat diketahui bahwa wilayah kota Solo cukup didominasi oleh ritel modern disamping banyaknya pasar-pasar tradisional terkenal di wilayah tersebut, sebagai contoh pasar-pasar batik dan pasar yang dikhususkan untuk turisme. Beralih ke wilayah Klaten, pasar dan ritel modern hanya menguasai kawasan sekitar jalan provinsi (Solo-Salatiga) dan jalan nasional (Solo-Yogyakarta). Di kabupaten lain, hanya ibukota kabupaten/kota saja yang dapat dijumpai dominasi pasar modern seperti di Sragen, Sukoharjo, dan Boyolali.
Pasar Modern vs Pasar Tradisional, siapa yang lebih eksis ?
Untuk menjawab pertanyaan di atas perlu membandingkan jumlah ulasan antara pasar modern dan pasar tradisional di Google Maps. Berikut merupakan diagram yang menggambarkan perbandingan jumlah ulasan keduanya.
Diagram di atas menunjukkan bahwa perbandingan antara pasar modern dan tradisional tidak terlalu signifikan, namun lebih unggul pasar modern. Dari 134 sampel pasar modern, terakumulasi jumlah total ulasan sebesar 218.312. Sementara itu, berdasarkan 135 sampel pasar tradisional didapatkan jumlah ulasan sebesar 174.854.
Berdasarkan hasil di atas, menunjukkan bahwa saat ini pasar tradisional masih bisa bersaing dengan gencarnya pertumbuhan pasar modern. Dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Perdagangan RI telah mencanangkan program Revitalisasi Pasar rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan pedagang para pelaku ekonomi yang ada di masyarakat serta memudahkan akses transaksi jual beli dengan nyaman (Kemendag RI, 2016). Program tersebut menjadi salah satu komitmen Kemendag RI dalam mendorong terjadinya penguatan pasar dalam negeri di era persaingan global yang semakin terbuka lebar. Revitalisasi pasar mengutamakan untuk pasar yang berumur lebih dari 25 tahun, yang mengalami kebakaran, bencana alam, dan konflik sosial, daerah tertinggal, perbatasan, atau daerah minim akan sarana perdagangan serta daerah dengan potensi perdagangan yang besar.
Program Revitalisasi Pasar Rakyat telah berjalan di sejumlah pasar yang berada di Solo Raya, diantaranya Pasar Baturetno, Purwantoro, Bulukerto, Batuwarno, Tirtomoyo dan Wuryantoro di Kabupaten Wonogiri; selanjutnya Pasar Cuplik, Ir. Soekarno, Watukelir, Mulur di Kabupaten Sukoharjo; Pasar Srago, Masaran Cawas, Cokrokembang di Kabupaten Klaten; Pasar Barong, Nglagon, di Kabupaten Sragen; Pasar Cepogo, Pengging, Banyudono di Kabupaten Boyolali; Pasar Kebakramat, Jatipuro, Tawangmangu di Kabupaten Karanganyar; pasar Mojosongo, Nusukan, Gading di Kota Surakarta, dan masih banyak lagi. Adanya program revitalisasi ini menjadi salah satu upaya agar eksistensi pasar tradisional tetap terjaga.
Penulis: Akmal Hafiudzan, Monica Chyntia, & Adji Saiddinullah
Editor: Hasea Alfian & Novan Hartadi
Daftar Pustaka :
Agustina, Ika. 2022. City Branding “Solo The Spirit of Java” dalam membangun Identitas Kota. Diakses pada 21 November 2022 melalui https://surakartadaily.com/2022/01/city-branding-solo-the-spirit-of-java-dalam-membangun-identitas-kota/
Januardi. 2016. Pasar Tradisional, Hidup Segan Mati Tak Mau. Diakses tanggal 7 November 2022 melalui https://ombudsman.jogjaprov.go.id/pasar-tradisional-hidup-segan-mati-tak-mau/
Kementerian Perdagangan RI. 2016. Konsep Revitalisasi Pasar Rakyat. Diakses pada 23 November 2022 melalui https://ews.kemendag.go.id/revitalisasi/konseprevitalisasi.aspx
Kontur. 2022. H3 Hexagonal Grid: Why We Use It for Data Analysis and Visualization. Diakses tanggal 7 November 2022 melalui https://www.kontur.io/blog/why-we-use-h3/
Krejcie and Morgan. 1970. “Determining Sample Size for Research Activities,”. The NEA Research Bulletin, Vol. 38, hal. 99, December, 1960
Kusnandar, Viva Budy. 2022. Solo Kota Terpadat di Jawa Tengah pada 2021. Diakses pada 22 November 2022 melalui https://databoks.katadata.co.id/
datapublish/2022/04/02/solo-kota-terpadat-di-jawa-tengah-pada-2021#:~:
text=Berdasarkan%20data%20Direktorat%20Jenderal%20Kependudukan,12.391%20jiwa%20per%20km%20persegi.